Aku telah sampai, dan waktu
menunjukkan pukul 19.01, oke aku terlambat satu menit dan itu keterlaluan. Aku
segera masuk dan langsung menangkap wajah seorang pria sedang membaca menu
makanan dan ditunggu seorang pelayan di sebelahnya. Itulah Aga, dan dia semakin
tampan untuk setiap detail bagian wajahnya, begitu pula postur tubuhnya. Oh
Aga, kau memang tak pernah lelah untuk membuatku terpukau. Dia mengenakan
jersey Arsenal, klub kesayangannya. Dan gayanya yang santai tapi cool itulah favoritku. Selesai memesan
makanan, dia melihatku. Senyumnya yang selalu bersahabat menyapaku, seolah-olah
menyuruhku untuk segera menghampirinya. Oke, stay cool Raissa, kau tidak ingin mengacaukan malam minggu
terindahmu. Aku melambaikan tangan, dan menghampirinya. Dia bergegas berdiri
untuk menyapaku lebih dalam lagi, lebih hangat lagi.
“Wow,
kau semakin tinggi saja. Kapan kau akan berhenti berusaha?”
“Dan
wow juga untukmu, Raissa. Kupikir kau akan mengalahkan tinggiku.”
“Oke,
Aga, jangan kacaukan reuni ini. Jangan mencoba meledekku atau kau akan rasakan
akibatnya. Apa kabar, sobat lama?”
“Aku
benar-benar takjub, Raissa, bukan berniat meledek. Sobat lama? Kupikir kita
sobat sepanjang masa. Seperti yang kau lihat, aku sangat baik, hanya pikiranku
sangat kacau. Kau tau? Drama kehidupan memang tak pernah berhenti.”
“Terimakasih
telah mengagumi tinggi tubuhku. Mulutku berbicara bohong, Aga. Kau adalah
sobatku yang selalu hidup dalam pikiran batinku. Ada apa? Ceritakan padaku.”
“Aku
memang datang untuk bercerita. Tapi tunggu, kenapa mulutmu berbicara bohong?”
“Kau
tau, sekarang ini sedang jamannya jaga
image. Duduklah dan mulai bercerita.”
Kami
duduk berhadapan, dan makanan yang telah dipesan Aga juga telah datang.
“Raissa,
kau menyukai makanan yang kupesan kan?”
“Ya…bagaimana
kau tau?”
“Hanya
tebakan yang beruntung.”
Dia
kembali membuatku tersipu.
“Aga,
segera ceritakan masalahmu.”
“Wow,
santai. Aku sedang tidak ingin memikirkannya, mari kita bicarakan hal yang lain
dulu. Bagaimana sekolahmu?”
“Kau
masih sama, sok misterius. Sekolahku begitu hebat, tak kusangka kuliah akan
sangat berbeda dengan jaman kita SMP dulu. Meskipun hebat, tak dapat kupungkiri
bahwa aku sangat merindukan jaman SMP kita yang begitu mempesona.”
“Kau
juga tak jauh berbeda, dramaqueen.
Ya, aku juga merindukan hal yang sama, bahkan oksigen yang kuhirup di
Universitas dan di SMP pun terasa berbeda, tak ada bau wangimu yang selalu aku
nantikan setiap kita berangkat sekolah 5 tahun lalu.”
“Jangan
mencoba menggodaku, itu terlalu kejam.”
“Terlalu
kejam? Kau kuliah sastra namun definisimu akan kata sungguh payah.”
“Kau
seolah-olah menuduhku memakai parfume
berlebihan setiap harinya. Itu kejam, oke.”
“Wohoo,
janganlah kau anggap serius perkataanku, Nona Manis.”
“Kau
sendiri bagaimana? Bagaimana sekolahmu? Pastinya sungguh mengagumkan, layaknya
dirimu.”
“Kau
terlalu melebih-lebihkan. Aku cukup bahagia untuk kuliah disana, selalu ada
wanita yang melirikku.”
“Jangan
membuatku patah hati, Aga.”
“Kan
kutunggu puisi patah hatimu di blog.”
“Kamu
nge-stalk aku ya?”
“Setiap
aku punya waktu. Dan setiap saat aku selalu punya waktu.”
“Setiap
saat aku hanya bisa memikirkanmu, Aga. Sungguh, aku sangat merindukanmu.” Nada
bicaraku kacau dan gemetar. Aku mulai memberanikan diri, aku sudah tidak tahan
lagi.
“Raissa…boleh
aku mulai bercerita?” Dia selalu begitu, mengalihkan pembicaraan.
“Tentu
saja, mulailah berbicara.”
“Aku
tidak tau harus berbuat apa, beberapa hari ini aku bertengkar dengan pacarku.”
“Uhuuukkk…uhukkk…uhuuukkk…”
“Sa,
kamu kenapa? Minum dulu.”
“Pa…pacar?
Kamu punya ummm…pacar? Sejak kapan? Kau tidak memberitahuku?”
“Iya,
sudah berjalan 6 bulan. Aku memang sengaja tidak mengumbarkannya. Tapi
belakangan ini dia sangat posesif
terhadapku. Setiap saat aku harus mengabarinya aku sedang apa, seakan hidupku
adalah miliknya. Dia terlalu mengusik hidupku, sudah kukatakan berkali-kali
bahwa aku tidak menyukai perlakuannya yang begitu. Namun, dia selalu marah dan
tidak mau mengalah. Sebenarnya aku tidak suka dengan sikapnya yang
kekanak-kanakan itu, tapi aku sangat menyayanginya. Sangat menyayanginya.”
Hal
ini benar-benar mematahkan hidupku, aku bahkan tidak sanggup menahan air
mataku. Di hadapannya aku menangis. Sungguh, apakah ini nyata?
“Sa…kamu
kenapa nangis?”
“Hah?
Apa? Tidak…bukan apa-apa. Dia adalah wanita yang sangat beruntung dapat
dicintai lelaki hebat sepertimu, aku yakin dia wanita yang sungguh baik. Kau
tau, Ga? Kurasa semua wanita memang posesif,
semuanya. Aku juga wanita, aku mengerti perasaannya. Dia sedang mencari
perhatianmu, Ga. Dia sedang mengirimkan sebuah pesan lewat posesifnya itu. Mungkin kau lupa akan sesuatu, atau kau sedikit
berubah, sehingga dia berpikir kau tak peduli dengannya lagi. Setiap wanita posesif karena mereka terlalu sensitif. Dia takut kehilangan lelaki
hebat sepertimu, Ga.” Bicaraku bergetar, ini sangat berat untuk diucapkan. Aku
sangatlah hancur.
“Jadi
begitulah jalan pikiran setiap wanita?”
“Tidak
semua, tapi pada umumnya. Aku bukan Tuhan yang tau akan segalanya. Hilangkanlah
sifat cuekmu, karena daridulu sifat itu selalu setia menempel pada pikiranmu.
Tunjukkan padanya jika kau benar-benar mencintainya, kau tak perlu malu. Dia
kekasihmu. Siapa namanya?”
“Kuakui
aku memang begitu, tidak mudah untuk berubah, Sa. Namanya Astrid.” Senyum yang
lebar dan penuh kasih sayang terpampang jelas di wajahnya saat ia menyebutkan
namanya. Aga sangatlah mencintainya, dan itu membuatku semakin hancur lagi.
“Nama
yang cantik, dan kau tidak perlu berubah, Ga. Kau hanya perlu membuktikan
padanya jika kau benar-benar peduli padanya. Itulah hasrat setiap wanita,
selalu ingin dipedulikan,” ucapku dan aku berusaha keras untuk tersenyum.
“Oh,
Raissa. Kau adalah tempatku mengadu segala masalah, dan kau selalu tau bagaimana
menyelesaikannya. Tak ada wanita yang sehebat kau.”
“Aku
masih kalah hebat dengan kekasihmu, hahaha.”
“Kalian
sebanding, aku tidak dapat memilih. Jadi, bagaimana kisah cintamu?”
“Kisah
cintaku? Hanya selembar kertas kosong. Aku gak punya pacar, Ga. Gak usah
ngeledek lagi, plis.”
“Jangan
bercanda, aku bertanya serius.”
“Dan
jawabanku jauh lebih serius, aku berkata jujur, Aga.”
“Tapi…kenapa?”
“Aku
masih mengagumi lelakiku yang dulu, dia selalu menjadi motivasiku dalam hal
apapun. Aku selalu menunggunya, mungkin dia tak melihatku, namun aku selalu
melihatnya. Aku tak pernah dapat berpaling walau sedetik saja, dia terlalu
berharga, Ga. Tak ada satupun orang yang dapat menggantikannya. Aku
menyayanginya dengan tulus, gak peduli dia menganggap aku apa. Aku peduli
padanya, aku sangat mencintainya. Dan akan selalu begitu.”
“Dia
lelaki yang sangat beruntung, dicintai wanita sehebat dirimu. Dan dia terlalu
bodoh tidak dapat melihatmu. Semoga kisahmu akan segera terisi dengan
kebahagiaan, Sa.”
Kisahku hanya akan terisi kebahagiaan jika
aku bersamamu, Ga. Sadarlah, kau yang aku maksud, kaulah yang aku cintai,
ucapku dalam hati.
“Haha,
dia sepertimu, Ga. Selalu mempesona. Kalian begitu mirip.”
“Aku
hanya bisa berdoa untukmu, Sa. Semoga kau akan selalu bahagia. Kau adalah teman
terbaikku.”
“Doamu
sudah berarti segalanya bagiku, Ga. Terimakasih.”
Aku
mempercepat makanku, sedari tadi aku telah menahan tangisku yang meronta ingin
meluap. Baru saja aku bahagia karena kehadiran Aga yang begitu ramah dan tak terduga,
dan ternyata dia membawa berita yang mengejutkan dibalik keramahannya itu. Dia
telah bersama orang lain, dan dia sangat mencintainya, dia sangat bahagia
bersamanya. Aku tak dapat berkutik, Aga memilihnya, bukan aku. Apa yang harus
kuperbuat? Kepada siapa aku harus mengadu? Dia telah menyakitiku, namun aku
juga tak bisa berhenti mencintainya.
“Ga,
udah jam segini. Aku pulang ya, hubungi aku.” Aku memberikan secarik kertas
berisikan nomor teleponku.
“Aku
akan sering mengganggumu, haha. Mau kuantar?”
“Haha,
aku takkan keberatan. Tak perlu, aku bisa pulang sendiri. Selamat malam, Aga,
merupakan malam yang indah bisa temu kangen sama kamu hari ini. Semoga harimu
selalu baik, byee,” ucapku sambil melambaikan tangan.
“Selamat
malam, Raissa. Aku akan merindukanmu lebih dalam lagi. Kita akan segera bertemu
kembali.”
Ucapannya
membuat hatiku semakin getir, dia begitu manis dengan setiap ucapannya, meski
dia telah memiliki seorang kekasih. Apa aku memang harus berpaling dan
melupakannya? Tidak, aku tidak akan sanggup. Aku berlari menuju sebuah taman
dihiasi lampu jalan bewarna kuning berkilauan, keindahan Jogja yang tak dapat
diragukan lagi. Aku terduduk dan diam, bingung harus berbuat apa, harus
berpikir bagaimana. Ini terlalu berat oke. Tiba-tiba ponselku bordering, ada
sms masuk.
Raissa, hati-hati dijalan ya. Kamu udah
sampai rumah? Sungguh, malam yang sangat hebat. Aku sudah merindukanmu, jangan
lupa simpan nomorku. Aga.
Semoga
dia panjang umur, baru saja kupikirkan, langsung muncul saja. Hatiku semakin
sakit melihatnya semakin bersikap manis padaku. Oh, Aga, kau sengaja
menyakitiku dengan cara seperti ini? Dengan menyayatku disaat kau mengobatiku?
Kejam. Oke, aku mengerti, kau tidak bermaksud begitu. Aku ini sobatmu, sudah
sewajarnya kau bersikap begitu. Yang kamu tau, aku menyayangimu sebagai
sahabatku, tidak lebih. Salahku tidak memberitahumu, salahku. Aku kembali
menangis dan berusaha membalas pesannya dengan kebohongan belaka, maafkan aku,
Aga.
Cepat sekali kau berusaha menggangguku,
haha. Iya aku sudah sampai dan sedang bersantai, aku tau kau tidak bertanya,
aku hanya ingin memberitahumu. Kamu sendiri udah sampai? Istirahatlah,
pikiranmu butuh itu. Aku juga sudah kembali merindukanmu, Aga. Terutama pada
tatapan indah nan mautmu itu. Kuharap kita akan segera kembali bertemu.
Baru aku mau
meletakkan ponsel dalam tas, dia sudah kembali membalas pesanku.
Kau harus mulai terbiasa, Raissa. Aku sudah
sampai dan akan segera tidur, berharap akan memimpikanmu. Kau juga segeralah
tidur, Putri Tidur. Selamat malam.
Aga, kumohon,
berhentilah membuatku tersipu, itu menyakitkan.
Semua akan mudah jika bersamamu, aku akan
segera terbiasa. Aku akan tidur, selamat malam, Aga. Semoga kau memimpikan aku.
Percakapan
malam itu usai, aku benci harus membohongi Aga. Aku mulai berpikir…mungkin aku
dan Aga memang ditakdirkan untuk bersama seperti ini, kami ditakdirkan untuk
saling mencintai dalam hubungan persahabatan. Selama ini, aku mungkin terlalu
memaksakan kehendakku, egoku untuk memilikinya sepenuhnya terlalu tinggi, aku
juga terlalu percaya diri.
To be continue :)