Senin, 12 Januari 2015

Sampai Berjumpa Kembali #2

Aku telah sampai, dan waktu menunjukkan pukul 19.01, oke aku terlambat satu menit dan itu keterlaluan. Aku segera masuk dan langsung menangkap wajah seorang pria sedang membaca menu makanan dan ditunggu seorang pelayan di sebelahnya. Itulah Aga, dan dia semakin tampan untuk setiap detail bagian wajahnya, begitu pula postur tubuhnya. Oh Aga, kau memang tak pernah lelah untuk membuatku terpukau. Dia mengenakan jersey Arsenal, klub kesayangannya. Dan gayanya yang santai tapi cool itulah favoritku. Selesai memesan makanan, dia melihatku. Senyumnya yang selalu bersahabat menyapaku, seolah-olah menyuruhku untuk segera menghampirinya. Oke, stay cool Raissa, kau tidak ingin mengacaukan malam minggu terindahmu. Aku melambaikan tangan, dan menghampirinya. Dia bergegas berdiri untuk menyapaku lebih dalam lagi, lebih hangat lagi.
                “Wow, kau semakin tinggi saja. Kapan kau akan berhenti berusaha?”
                “Dan wow juga untukmu, Raissa. Kupikir kau akan mengalahkan tinggiku.”
                “Oke, Aga, jangan kacaukan reuni ini. Jangan mencoba meledekku atau kau akan rasakan akibatnya. Apa kabar, sobat lama?”
                “Aku benar-benar takjub, Raissa, bukan berniat meledek. Sobat lama? Kupikir kita sobat sepanjang masa. Seperti yang kau lihat, aku sangat baik, hanya pikiranku sangat kacau. Kau tau? Drama kehidupan memang tak pernah berhenti.”
                “Terimakasih telah mengagumi tinggi tubuhku. Mulutku berbicara bohong, Aga. Kau adalah sobatku yang selalu hidup dalam pikiran batinku. Ada apa? Ceritakan padaku.”
                “Aku memang datang untuk bercerita. Tapi tunggu, kenapa mulutmu berbicara bohong?”
                “Kau tau, sekarang ini sedang jamannya jaga image. Duduklah dan mulai bercerita.”
                Kami duduk berhadapan, dan makanan yang telah dipesan Aga juga telah datang.
                “Raissa, kau menyukai makanan yang kupesan kan?”
                “Ya…bagaimana kau tau?”
                “Hanya tebakan yang beruntung.”
                Dia kembali membuatku tersipu.
                “Aga, segera ceritakan masalahmu.”
                “Wow, santai. Aku sedang tidak ingin memikirkannya, mari kita bicarakan hal yang lain dulu. Bagaimana sekolahmu?”
                “Kau masih sama, sok misterius. Sekolahku begitu hebat, tak kusangka kuliah akan sangat berbeda dengan jaman kita SMP dulu. Meskipun hebat, tak dapat kupungkiri bahwa aku sangat merindukan jaman SMP kita yang begitu mempesona.”
                “Kau juga tak jauh berbeda, dramaqueen. Ya, aku juga merindukan hal yang sama, bahkan oksigen yang kuhirup di Universitas dan di SMP pun terasa berbeda, tak ada bau wangimu yang selalu aku nantikan setiap kita berangkat sekolah 5 tahun lalu.”
                “Jangan mencoba menggodaku, itu terlalu kejam.”
                “Terlalu kejam? Kau kuliah sastra namun definisimu akan kata sungguh payah.”
                “Kau seolah-olah menuduhku memakai parfume berlebihan setiap harinya. Itu kejam, oke.”
                “Wohoo, janganlah kau anggap serius perkataanku, Nona Manis.”
                “Kau sendiri bagaimana? Bagaimana sekolahmu? Pastinya sungguh mengagumkan, layaknya dirimu.”
                “Kau terlalu melebih-lebihkan. Aku cukup bahagia untuk kuliah disana, selalu ada wanita yang melirikku.”
                “Jangan membuatku patah hati, Aga.”
                “Kan kutunggu puisi patah hatimu di blog.”
                “Kamu nge-stalk aku ya?”
                “Setiap aku punya waktu. Dan setiap saat aku selalu punya waktu.”
                “Setiap saat aku hanya bisa memikirkanmu, Aga. Sungguh, aku sangat merindukanmu.” Nada bicaraku kacau dan gemetar. Aku mulai memberanikan diri, aku sudah tidak tahan lagi.
                “Raissa…boleh aku mulai bercerita?” Dia selalu begitu, mengalihkan pembicaraan.
                “Tentu saja, mulailah berbicara.”
                “Aku tidak tau harus berbuat apa, beberapa hari ini aku bertengkar dengan pacarku.”
                “Uhuuukkk…uhukkk…uhuuukkk…”
                “Sa, kamu kenapa? Minum dulu.”
                “Pa…pacar? Kamu punya ummm…pacar? Sejak kapan? Kau tidak memberitahuku?”
                “Iya, sudah berjalan 6 bulan. Aku memang sengaja tidak mengumbarkannya. Tapi belakangan ini dia sangat posesif terhadapku. Setiap saat aku harus mengabarinya aku sedang apa, seakan hidupku adalah miliknya. Dia terlalu mengusik hidupku, sudah kukatakan berkali-kali bahwa aku tidak menyukai perlakuannya yang begitu. Namun, dia selalu marah dan tidak mau mengalah. Sebenarnya aku tidak suka dengan sikapnya yang kekanak-kanakan itu, tapi aku sangat menyayanginya. Sangat menyayanginya.”
                Hal ini benar-benar mematahkan hidupku, aku bahkan tidak sanggup menahan air mataku. Di hadapannya aku menangis. Sungguh, apakah ini nyata?
                “Sa…kamu kenapa nangis?”
                “Hah? Apa? Tidak…bukan apa-apa. Dia adalah wanita yang sangat beruntung dapat dicintai lelaki hebat sepertimu, aku yakin dia wanita yang sungguh baik. Kau tau, Ga? Kurasa semua wanita memang posesif, semuanya. Aku juga wanita, aku mengerti perasaannya. Dia sedang mencari perhatianmu, Ga. Dia sedang mengirimkan sebuah pesan lewat posesifnya itu. Mungkin kau lupa akan sesuatu, atau kau sedikit berubah, sehingga dia berpikir kau tak peduli dengannya lagi. Setiap wanita posesif karena mereka terlalu sensitif. Dia takut kehilangan lelaki hebat sepertimu, Ga.” Bicaraku bergetar, ini sangat berat untuk diucapkan. Aku sangatlah hancur.
                “Jadi begitulah jalan pikiran setiap wanita?”
                “Tidak semua, tapi pada umumnya. Aku bukan Tuhan yang tau akan segalanya. Hilangkanlah sifat cuekmu, karena daridulu sifat itu selalu setia menempel pada pikiranmu. Tunjukkan padanya jika kau benar-benar mencintainya, kau tak perlu malu. Dia kekasihmu. Siapa namanya?”
                “Kuakui aku memang begitu, tidak mudah untuk berubah, Sa. Namanya Astrid.” Senyum yang lebar dan penuh kasih sayang terpampang jelas di wajahnya saat ia menyebutkan namanya. Aga sangatlah mencintainya, dan itu membuatku semakin hancur lagi.
                “Nama yang cantik, dan kau tidak perlu berubah, Ga. Kau hanya perlu membuktikan padanya jika kau benar-benar peduli padanya. Itulah hasrat setiap wanita, selalu ingin dipedulikan,” ucapku dan aku berusaha keras untuk tersenyum.
                “Oh, Raissa. Kau adalah tempatku mengadu segala masalah, dan kau selalu tau bagaimana menyelesaikannya. Tak ada wanita yang sehebat kau.”
                “Aku masih kalah hebat dengan kekasihmu, hahaha.”
                “Kalian sebanding, aku tidak dapat memilih. Jadi, bagaimana kisah cintamu?”
                “Kisah cintaku? Hanya selembar kertas kosong. Aku gak punya pacar, Ga. Gak usah ngeledek lagi, plis.”
                “Jangan bercanda, aku bertanya serius.”
                “Dan jawabanku jauh lebih serius, aku berkata jujur, Aga.”
                “Tapi…kenapa?”
                “Aku masih mengagumi lelakiku yang dulu, dia selalu menjadi motivasiku dalam hal apapun. Aku selalu menunggunya, mungkin dia tak melihatku, namun aku selalu melihatnya. Aku tak pernah dapat berpaling walau sedetik saja, dia terlalu berharga, Ga. Tak ada satupun orang yang dapat menggantikannya. Aku menyayanginya dengan tulus, gak peduli dia menganggap aku apa. Aku peduli padanya, aku sangat mencintainya. Dan akan selalu begitu.”
                “Dia lelaki yang sangat beruntung, dicintai wanita sehebat dirimu. Dan dia terlalu bodoh tidak dapat melihatmu. Semoga kisahmu akan segera terisi dengan kebahagiaan, Sa.”
                Kisahku hanya akan terisi kebahagiaan jika aku bersamamu, Ga. Sadarlah, kau yang aku maksud, kaulah yang aku cintai, ucapku dalam hati.
                “Haha, dia sepertimu, Ga. Selalu mempesona. Kalian begitu mirip.”
                “Aku hanya bisa berdoa untukmu, Sa. Semoga kau akan selalu bahagia. Kau adalah teman terbaikku.”
                “Doamu sudah berarti segalanya bagiku, Ga. Terimakasih.”
                Aku mempercepat makanku, sedari tadi aku telah menahan tangisku yang meronta ingin meluap. Baru saja aku bahagia karena kehadiran Aga yang begitu ramah dan tak terduga, dan ternyata dia membawa berita yang mengejutkan dibalik keramahannya itu. Dia telah bersama orang lain, dan dia sangat mencintainya, dia sangat bahagia bersamanya. Aku tak dapat berkutik, Aga memilihnya, bukan aku. Apa yang harus kuperbuat? Kepada siapa aku harus mengadu? Dia telah menyakitiku, namun aku juga tak bisa berhenti mencintainya.
                “Ga, udah jam segini. Aku pulang ya, hubungi aku.” Aku memberikan secarik kertas berisikan nomor teleponku.
                “Aku akan sering mengganggumu, haha. Mau kuantar?”
                “Haha, aku takkan keberatan. Tak perlu, aku bisa pulang sendiri. Selamat malam, Aga, merupakan malam yang indah bisa temu kangen sama kamu hari ini. Semoga harimu selalu baik, byee,” ucapku sambil melambaikan tangan.
                “Selamat malam, Raissa. Aku akan merindukanmu lebih dalam lagi. Kita akan segera bertemu kembali.”
                Ucapannya membuat hatiku semakin getir, dia begitu manis dengan setiap ucapannya, meski dia telah memiliki seorang kekasih. Apa aku memang harus berpaling dan melupakannya? Tidak, aku tidak akan sanggup. Aku berlari menuju sebuah taman dihiasi lampu jalan bewarna kuning berkilauan, keindahan Jogja yang tak dapat diragukan lagi. Aku terduduk dan diam, bingung harus berbuat apa, harus berpikir bagaimana. Ini terlalu berat oke. Tiba-tiba ponselku bordering, ada sms masuk.
                Raissa, hati-hati dijalan ya. Kamu udah sampai rumah? Sungguh, malam yang sangat hebat. Aku sudah merindukanmu, jangan lupa simpan nomorku. Aga.
                Semoga dia panjang umur, baru saja kupikirkan, langsung muncul saja. Hatiku semakin sakit melihatnya semakin bersikap manis padaku. Oh, Aga, kau sengaja menyakitiku dengan cara seperti ini? Dengan menyayatku disaat kau mengobatiku? Kejam. Oke, aku mengerti, kau tidak bermaksud begitu. Aku ini sobatmu, sudah sewajarnya kau bersikap begitu. Yang kamu tau, aku menyayangimu sebagai sahabatku, tidak lebih. Salahku tidak memberitahumu, salahku. Aku kembali menangis dan berusaha membalas pesannya dengan kebohongan belaka, maafkan aku, Aga.
                Cepat sekali kau berusaha menggangguku, haha. Iya aku sudah sampai dan sedang bersantai, aku tau kau tidak bertanya, aku hanya ingin memberitahumu. Kamu sendiri udah sampai? Istirahatlah, pikiranmu butuh itu. Aku juga sudah kembali merindukanmu, Aga. Terutama pada tatapan indah nan mautmu itu. Kuharap kita akan segera kembali bertemu.
Baru aku mau meletakkan ponsel dalam tas, dia sudah kembali membalas pesanku.
Kau harus mulai terbiasa, Raissa. Aku sudah sampai dan akan segera tidur, berharap akan memimpikanmu. Kau juga segeralah tidur, Putri Tidur. Selamat malam.
Aga, kumohon, berhentilah membuatku tersipu, itu menyakitkan.
Semua akan mudah jika bersamamu, aku akan segera terbiasa. Aku akan tidur, selamat malam, Aga. Semoga kau memimpikan aku.

Percakapan malam itu usai, aku benci harus membohongi Aga. Aku mulai berpikir…mungkin aku dan Aga memang ditakdirkan untuk bersama seperti ini, kami ditakdirkan untuk saling mencintai dalam hubungan persahabatan. Selama ini, aku mungkin terlalu memaksakan kehendakku, egoku untuk memilikinya sepenuhnya terlalu tinggi, aku juga terlalu percaya diri.

To be continue :)

1 komentar: